— —
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91/PMK.03/2015 TENTANG PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI ATAS KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN, PEMBETULAN SURAT PEMBERITAHUAN, DAN KETERLAMBATAN PEMBAYARAN ATAU PENYETORAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, | ||||||
Menimbang | : | a. | bahwa dalam rangka melakukan pembinaan terhadap Wajib Pajak dan untuk mendorong Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan, membayar atau menyetorkan kekurangan pembayaran pajak dalam Surat Pemberitahuan, serta melaksanakan pembetulan Surat Pemberitahuan di tahun 2015 sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan membangun basis perpajakan yang kuat, diperlukan adanya instrumen kebijakan di bidang perpajakan; | |||
b. | bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009, Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; | |||||
c. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak; | |||||
Mengingat | : | 1. | Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); | |||
2. | Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 51); | |||||
MEMUTUSKAN: | ||||||
Menetapkan | : | PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI ATAS KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN, PEMBETULAN SURAT PEMBERITAHUAN, DAN KETERLAMBATAN PEMBAYARAN ATAU PENYETORAN PAJAK. | ||||
Pasal 1 | ||||||
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: | ||||||
1. | Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009. | |||||
2. | Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | |||||
3. | SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. | |||||
4. | SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. | |||||
5. | Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. | |||||
6. | Sanksi Administrasi adalah sanksi administrasi berupa bunga atau denda yang terutang sesuai dengan ketentuan Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2b), atau Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP. | |||||
Pasal 2 | ||||||
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Sanksi Administrasi dalam hal Sanksi Administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. | ||||||
Pasal 3 | ||||||
Sanksi Administrasi yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terbatas atas: | ||||||
a. | keterlambatan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; | |||||
b. | keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya; | |||||
c. | keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; dan/atau | |||||
d. | pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, | |||||
yang dilakukan pada tahun 2015. | ||||||
Pasal 4 | ||||||
(1) | Dalam rangka mendapatkan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak. | |||||
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: | |||||
a. | 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak; | |||||
b. | diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; | |||||
c. | ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak badan, dan tidak dapat dikuasakan; dan | |||||
d. | disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. | |||||
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen berupa: | |||||
a. | surat pernyataan yang menyatakan bahwa keterlambatan penyampaian SPT, keterlambatan pembayaran pajak, dan/atau pembetulan SPT dilakukan karena kekhilafan atau bukan karena kesalahan dan ditandatangani di atas meterai oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak badan; | |||||
b. | fotokopi SPT atau SPT pembetulan yang disampaikan atau print-out SPT atau SPT pembetulan berbentuk dokumen elektronik yang disampaikan; | |||||
c. | fotokopi bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai bukti penerimaan penyampaian SPT atau SPT pembetulan; | |||||
d. | fotokopi Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak terutang yang tercantum dalam SPT Masa atau bukti pelunasan kekurangan pajak yang tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau bukti pelunasan pajak yang kurang dibayar yang tercantum dalam SPT pembetulan; dan | |||||
e. | fotokopi Surat Tagihan Pajak. | |||||
(4) | Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi berlaku ketentuan sebagai berikut: | |||||
a. | Sanksi Administrasi dalam Surat Tagihan Pajak belum dibayar oleh Wajib Pajak; atau | |||||
b. | Sanksi Administrasi dalam Surat Tagihan Pajak sudah dibayar sebagian oleh Wajib Pajak. | |||||
(5) | Dalam hal Sanksi Administrasi dalam Surat Tagihan Pajak telah diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak, yang dilakukan melalui potongan SPM dan/atau transfer pembayaran, Sanksi Administrasi dalam Surat Tagihan Pajak dianggap belum dibayar oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | |||||
(6) | Permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. | |||||
(7) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi yang kedua, permohonan tersebut harus diajukan setelah surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim. | |||||
(8) | Permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap diajukan terhadap Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak. | |||||
(9) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) berlaku juga untuk permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi yang kedua. | |||||
Pasal 5 | ||||||
(1) | Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (7) dengan meneliti: | |||||
a. | pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3); | |||||
b. | pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4); dan | |||||
c. | pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. | |||||
(2) | Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyimpulkan bahwa permohonan Wajib Pajak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3), ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan: | |||||
a. | Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; atau | |||||
b. | Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi. | |||||
(3) | Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan sebagai berikut: | |||||
a. | Sanksi Administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak belum dibayar oleh Wajib Pajak; dan | |||||
b. | jumlah Sanksi Administrasi yang dihapuskan adalah sebesar jumlah Sanksi Administrasi dalam Surat Tagihan Pajak. | |||||
(4) | Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan sebagai berikut: | |||||
a. | Sanksi Administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak sudah dibayar sebagian oleh Wajib Pajak; dan | |||||
b. | jumlah Sanksi Administrasi yang dikurangkan adalah sebesar sisa Sanksi Administrasi yang belum dibayar oleh Wajib Pajak. | |||||
(5) | Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak. | |||||
(6) | Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyimpulkan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3), ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), dan/atau ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, permohonan Wajib Pajak dikembalikan. | |||||
(7) | Terhadap permohonan Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan/atau Pasal 4 ayat (3), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kembali. | |||||
(8) | Terhadap permohonan Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau Pasal 4 ayat (4), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali. | |||||
(9) | Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau tidak mengembalikan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6), permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak. | |||||
Pasal 6 | ||||||
Terhadap Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan kepada Wajib Pajak sehubungan dengan adanya: | ||||||
a. | penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; | |||||
b. | keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya; | |||||
c. | keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; dan/atau | |||||
d. | pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, | |||||
yang dilakukan pada tahun 2015, tindakan penagihan pajak atas Surat Tagihan Pajak tersebut ditangguhkan apabila Wajib Pajak menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan/atau Pasal 4 ayat (7). | ||||||
Pasal 7 | ||||||
Dokumen berupa: | ||||||
a. | Permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (7); | |||||
b. | Surat Pengembalian Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7); | |||||
c. | Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, | |||||
dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||
Pasal 8 | ||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. | ||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. | ||||||
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2015 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG P. S. BRODJONEGORO | ||||||
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Mei 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 671 Download |